Arti Sebuah Kesetiaan ..
Diawali dengan cerita ibu-bapaku. Kami berasal dari keluarga kelas
menengah. Orangtuaku tidak berlimpah harta. Biasa saja. Tapi seperti
kebanyakan keluarga kelas menengah lainnya, bapak dan ibu selalu
memiliki pembantu dan supir yang setia. Mereka ikut bersama keluarga
kami dalam rentang waktu lumayan lama.
Tapi selalu saja berulang. Ada pertemuan dan ada perpisahan.
Sampailah suatu ketika kita berpisah karena ajal menjemput salah satu
dari mereka. Kebetulan, ayahku tercinta berpulang terlebih dahulu
kemudian mereka. Sebelumnya kami selalu bersama, sampai ajal - maut
yang memisahkan. Huhuuhuu, betapa terharunya hati kami
menerima cinta dan kesetiaan mereka semua.
Yang membuat aku terharu, adalah pengabdian pembantu dan supir kami
itu. Mereka mengabdi tentu bukan karena kami kaya raya. Kami sungguh
sangat beruntung dapat dipertemukan dengan mereka. Orang orang
sederhana tapi berhati mulia.
Kita
memang saling menghormati dan care. Kami membiayai sekolah
putera mereka. Tentu ketika itu biaya sekolah tidak semahal sekarang.
Jadi timbal balik yang mereka peroleh biasa saja. Tidak berlebih.
Tapi kasih dan kesetiaan mereka pada keluarga kami seakan akan tidak
terbatas.
Mungkin itu terjadi karena kami selalu menganggap mereka sebagai
saudara. Kami tidak pernah memperlakukan mereka sebagai pembantu,
atau bahkan orang kecil. Kita adalah sama. Hanya kebetulan kami
bernasib lebih baik, bisa menjadi majikan mereka.
Kesetian mereka sudah teruji. Ketika kami tengah tidak memiliki
apa-apa, uang untuk makanpun susah, mereka tidak mengeluh sedikitpun.
Bahkan pernah suatu kali, mereka dengan rela menyumbangkan,
meminjamkan uang tabungan mereka pada kami sang majikan.
Betapa indah hubungan kami dengan mereka dan betapa indahnya
kesetiaan mereka pada kami. Mereka enggan meninggalkan kami di saat
kami dirudung masalah. Di saat-saat kritis itu mereka justru
mengulurkan tangan pada kami, yang seharusnya kami menjamin kehidupan
mereka.
Indah nian mengenang masa itu. Sebuah kesetiaan suci, tanpa pamrih
dan ikhlas.
Masih
melakat erat dalam benakku, saat-saat terakhir akan berpisah dengan
mereka. Moment itu sangat mengharu biru. Walaupun kala itu
saya masih sangat muda, tapi saya bisa melihat, merasakan dan selalu
ingat dengan jelas bagaimana kesetiaan mereka pada kami, sebuah
ketulusan hati yang indah untuk dikenang. Sungguh kemuliaan hati
mereka teramat membekas dalam kalbuku yang terdalam. Kebaikan mereka
tersimpan dengan baik di hati ini.
Mereka sebenarnya tetap ingin mengabdi kepada ibuku, tapi ibu menolak
halus. Alasannya sederhana, apa yang akan kami berikan kepada mereka
dengan uang pensiunan seorang janda. Tentu tidak akan mencukupi,
bahkan mungkin akan kekurangan. Tetapi mereka sebenarnya tidak
mempedulikan itu, barangkali mereka hanya ingin menemani ibuku sampai
ajal menjemput dan memisahkan salah satu dari mereka. Tetapi ibuku
bersikukuh. Hanya karena kondisi tidak memungkinkan, maka perpisahan
itu terjadi. hiks hiks .. Sedih banget deh kalau
ingat kejadian itu.
Kejadian itu telah membekali hatiku arti sebuah kesetian yang murni,
ikhlas tapi tidak saling merugikan. Yang ada adalah saling kasih
diantara kita, sesama mahluk ciptaan-Nya, tanpa batas pangkat dan
derajat masing masing. Indah nian kesetiaan seperti itu bila masih
ada di dunia ini, serasa melihat keindahan kasih-Nya yang tanpa
batas. Tanpa pamrih.
Itulah arti kesetiaan yang aku peroleh dari orang-orang sederhana.
Walaupun tak juga bisa dipungkiri kami juga memperoleh kebaikan dari
orang-orang besar dan berpangkat.
Mengenang Ayahanda
Saya pernah mengisahkan bagaimana ayahanda tercinta pernah difitnah secara keji oleh orang lain, tapi bersyukurlah selalu saja datang pertolongan dari-Nya. Bantuan itu datang melalui teman-temannya yang masih setia. Kawan-kawan yang selalu menemani ayahanda melalui masa-masa genting dan masa tersulit dalam hidupnya. Teman-teman yang selalu ringan tangan mengulurkan bantuan dan kepercayaannya pada ayahanda tercinta.
Saya pernah mengisahkan bagaimana ayahanda tercinta pernah difitnah secara keji oleh orang lain, tapi bersyukurlah selalu saja datang pertolongan dari-Nya. Bantuan itu datang melalui teman-temannya yang masih setia. Kawan-kawan yang selalu menemani ayahanda melalui masa-masa genting dan masa tersulit dalam hidupnya. Teman-teman yang selalu ringan tangan mengulurkan bantuan dan kepercayaannya pada ayahanda tercinta.
Pernahkah kita membayangkan, jika suatu kali kita difitnah orang dan
tak ada seorang pun di dunia ini yang mempercayai kita akan kejadian
yang sebenarnya? Situasi seperti itu seperti kita dimasukan ke dalam
sebuah lubang di dasar samudera paling dalam, yang tidak memungkinkan
kita dapat melihat cerahnya matahari. Dunia serasa kelam, sekelam
sejuta malam.
Rasanya amat mengerikan, memilukan hati, menyayat jiwa dan raga ini.
Perasaan itu tetap ada di dalam hatiku yang terdalam. Rasa pilu di
hati ini tidak akan pernah hilang. Rasa nyeri dan pedih itu tersimpan
rapat dalam hatiku.
Teman
teman ayahku yang mempunyai kesetiaan sejati, membela ayahku dengan
sebuah kepercayaan yang besar. Sebuah kepercayaan yang mempunyai
dasar, bukan sebuah kepercayaan asal asalan, terlebih sebuah
kefanatikan. Mereka meyakini atas dasar kesetiaan pada kebenaran. Dan
mereka juga bukannya tidak menyadari, bahwa mereka akan menghadapi
resiko yang tidak sedikit ketika membela temannya.
Sejak itu, saya mengenal bentuk lain dari sebuah arti kesetiaan dari
teman ayahku yang keliatannya tidak kami kenal dengan baik. Tidak
mengenal baik, dalam arti bukan teman yang setiap hari menemani
hari-hari kami, tapi ternyata mempunyai hati yang suci, yang tahu
kapan harus menolong temannya yang sedang kesulitan, bukan mendiamkan
atau bahkan meninggalkannya.
Demikianlah arti sebuah kesetiaan yang pernah keluarga kami alami .
Bagai sebuah rahmat buat saya, karena itu adalah sebuah kebaikan hati
manusia. Semoga saya boleh selalu setia dengan iklas dengan sesama di
manapun berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar